Jumat, 22 April 2011

filsafat pendidikan

FILSAFAT PENDIDIKAN


A. Filsafat Sebagai Ilmu Pengetahuan
Filsafat dikatakan sebagai ilmu pengetahuan karena filsafat merupakan induk dari semua ilmu pengetahuan dan mempunyai peranan yang mendasar dalam sebuah pendidikan. Sehingga keberadaan filsafat yang berasal dari pemikiran seseorang yang dapat mempengaruhi aspek hidup manusia secara tidak perseorangan ini sangat diakui keberadaannya. Karena sifatnya yang sangat rasional dan merupakan buah pemikiran yang berdasarkan empiric yang dilakukan oleh para filosof sehingga menghasilkan suatu kebenaran yang dapat di implementasikan teori mereka masing-masing dalam kehidupan yang nyata.

B. Pengertian Filsafat
Filasafat philoshopia (Yunani) berarti cinta pada ilmu pengetahuan / hikmat . Cinta dalm kebijaksanaan orang yang cinta pada ilmu pengetahuan disebut “philosophos” atau failasuf dalam ucapan bahasa Arabnya.
Prof. Ir. Poedjawijata dalam hal pembatasan nama filsafat itu menyatakan adalah adapun kata filsafat itu kata Arab yang berhubung rapat dengan kata Yunani bahkan asalnyapun dari bahasa Yunani pula. Dalam bahasa Yunani kata Fhiloshopia itu merupakan kata majemuk yang terdiri dari filo dan sofia. Filo artinya cinta dalm ari yang seluas-luasnya, yaitu ingin dank arena itu lalu berusaha menapai yang di inginkan. Sofia artinya bijaksana atau pandai tahu dengan mendalam. Jadi menurut namanya sajafilsafat boleh ingin tahu dengan mendalam atau cinta kepada kebijaksanaan.
Pengertian filsafat juga berarti ilmu yang memperlajari akan fakta-fakta dari kenyataan yang ada dengan menggunakan logika, etika, estetika dan teori ilu pengetahuan yang bertujuan untuk mencari kebenaran.
Banyak definisi filsafat yang dikemukakan oleh para filosof diantaranya :
1. Plato (427 SM – 348 SM) , filsafat adalah ilu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli.
2. Aristoteles (382 SM – 322 SM ) ,filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik dan etestika.
3. Descartes (2590 – 1650 ),filsafat ialah kumpulan segala ilmu pengetahuan dimana Tuhan, Alam dan manusia menjadi pokok penyelidikan.
4. Immanuel Kant (1724 – 1804 ), filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal dari segala pengetahuan yang tercakup di dalamnya metafisika, etika, agama dan anthropologi.
Isi filsafat ditentukan oleh abyek apa yang dipikirkan. Obyek yang dipikirkan oleh filosof ialah segala yang ada dan yang mungkin ada. Obyek yang diselidiki oleh filosof ada obyek material, yaitu segala yang ada tadi tentang obyek material ini banyak yang sama dengan obyek materia sains
Selain obyek materia, yaitu sifat penyelidikan. Obyek forma filsafat adalah peyelidikan yang mendalam. Artinya, ingin tahunya filsafat adalah ingin tahu bagian dalamnya. Kata mendalam artinya ingin tahu tentang obyek yang tidak empiris.
Filsafat adalah ilmu yang mempelajari tentang segala sesuatu yang ada di alam semesta dan merupakan induk dari ilmu pengetahuan. Serta membahas 3 hal penting yaitu:
• Tuhan (Teologi).
• Manusia (Humanologi).
• Alam (Kosmologi).
Ciri ilmu filsafat yang membedakan dengan ilmu lain adalah:
• Filsafat membahas ilmu secara sinopsis (menyeluruh).
• Filsafat itu mendasar (radikal) atau membahas tuntas dari awal.
• Filsafat selalu menanyakan sesuatu dibalik persoalan yang dihadapi dan dipelajari oleh ilmu (spekulatif) tersebut, menetapkan dan mengendalikan pada pikiran rasional dan berusaha mencari kebenaran.
Ada beberapa aliran filsafat yang merupakan pemikiran-pemikiran para pilosof dan berkembang dalam masyarakat dan mempraktekkannya, seperti:
• Empirisme yaitu menekankan pada pengalaman dan penghayatannya terhadap duniadan kehidupan.
• Rasionalisme yaitu pemikiran dan pertimbangan terhadap akal sehat.
• Idealisme yaitu pemikiran yang berdasarka ide, materi, dan perkembangan pada pemikiran jiwa dan raga.

cerita mbzo

Cerita Rakyat Bima
LAWATA

(Sarangge )Nama Lawata tentu tidak asing lagi bagi msyarakat Bima maupun NTB. Karena nama Pantai yang indah di pintu masuk Kota Bima ini memang sudah sejak lama menjadi obyek wisata andalan bagi Kota Bima. Nama Lawata pun menjadi salah satu nama kompleks pemukiman warga-warga Bima yang ada di mataram. Yaitu di sebelah barat Gomong.

Kenapa dinamakan Lawata ? dan Siapa yang memberi nama itu ? Dalam buku Legenda Tanah Bima sebagaimana ditulis Alan Malingi, Lawata pertama kali diperkenalkan oleh para Ncuhi kepada salah seorang musafir dari Jawa yang dijuluki Sang Bima. Pada saat itu, Sang Bima dengan istrinya yang merupakan puteri salah seorang Ncuhi di Tambora berkunjung ke Istana Ncuhi Dara di pusat Kota. Upacara penyambutan oleh para Ncuhi berlangsung cukup meriah. Ribuan orang menggelar Tarian Adat menjemput kedatangan orang yang dijuluki Sang Bima itu. Karena banyaknya orang yang menjemput, pantai yang membentang di sebelah timur teluk Bima itu pun deberi nama DEWA SEPI. Dewa berarti Tari. Sepi berarti banyak.

Ketika akan memasuki Istana Ncuhi Dara di Gunung Dara ( Sebelah Selatan Terminal Dara Bima sekarang ), Para Ncuhi yang dipimpin Ncuhi Dara menyambut kedatangann Orang Yang Dijuluki Bima itu di tepian pantai. Lalu para Ncuhi mempersilahkan tamunya itu untuk duduk-duduk di pantai itu seraya berkata “ Ake Lawang Ita “Lawang( Pinta Gerbang/Pintu masuk). Ita berarti Tuan. Lawang Dalam bahasa Sangsekerta berarti pintu masuk. Sedangkan Ita adalah Bahasa Bima yang berarti anda atau tuan. Pada perkembangan selanjutnya nama Lawang Ita itu berubah menjadi LAWATA yang berarti pintu gerbang bagi siapapun yang masuk dan menginjakkan kaki di Kota Bima.

Saat ini Pemerintah Kota Bima terus membenahi Pantai Lawata untuk menjadi salah satu obyek wisata pantai andalan di kota Bima dengan membangun berbagai fasilitas seperti Rumah makan terapung, perlengkapan berenang, panggung hiburan rakyat serta sederetan penataan lainnya. (Alan)

Asal Mula Kampung Tolo Bali

Oleh : Alan Malingi

Masa kesultanan Bima telah berlangsung lebih dari tiga abad. Pada masa itu perkembangan Islam cukup pesat. Pendidikan Islam dan Alqur’an diberlakukan merata ke seluruh negeri yang dimulai dari pelataran Istana hingga ke pelosok dusun dan desa. Lantunan Ayat-ayat suci Alqur’an terdengar dari sudut-sudut kampung, di surau dan masjid-masjid terutama ba’da magrib sambil menanti masuknya waktu shalat Isya.

Memasuki abad ke- 17 Dan 18 bisa dikatakan sebagai masa-masa keemasan peradaban Islam di Dana Mbojo. Guru-guru dan Ulama didatangkan dari Sulawesi dan Sumatra. Merekalah yang kemudian dikenal di Dana Mbojo sebagai orang-orang Melayu. Pada perkembangan selanjutnya, para guru dan ulama itu menikah dengan gadis-gadis Mbojo dan beranak keturunan di Bumi Maja Labo Dahu ini.

Sebagai ungkapan terima kasih Sultan Bima kepada para guru dan ulama itu, diberikanlah tanah sawah dan ladang untuk mereka garap yang berloasi di sebelah utara Istana Bima. Tanah-tanah tersebut sebenarnya cukup subur dan menjanjikan harapan. Namun para guru dan ulama itu menolak tanah sawah tersebut dengan alasan bahwa mereka tidak memiliki kemampuan dan bakat untuk bercocok tanam. Mereka lebih suka untuk berdagang, menjadi saudagar dan melaut sambil berdakwah. Akhirnya mereka mengembalikan secara baik-baik sawah tersebut. Sultan Bima tidak tersinggung dengan pengembalian itu. Sultan menyadari dan memahami bahwa memang panggilan hidup mereka adalah sebagai pedagang dan mubalig.

Akhirnya sawah yang dikembalikan itu lama kelamaan menjadi perkampungan yang bernama TOLO BALI. Tolo berarti Sawah. Bali berarti dikembalikan. Jadi Tolo Bali itu adalah Sawah yang dikembalikan.

OI WOBO

Oleh : Alan Malingi

Konon kisahnya, putera Mahkota Raja Bima ingin melakukan petualangan. Diawali dari arah barat, menuju ke arah selatan dan berakhir di arah utara. Namun ia belum berhenti sampai di situ. Sekembalinya di istana, ia memohon restu kepada ayahandanya.
“ Anakda ingin berpetualangan lagi.” Katanya “ Berikanlah restu kepada anakda untuk yang terakhir kali.”
“ Aku restui permintaanmu anakda, tetapi kamu harus berhati-hati dan bawalah bekal serta pengawal yang agak banyak.”
“ Terima kasih ayahanda. Segala titah akan anakda laksanakan.”
“ Ke arah mana lagi yang ingin kau telusuri?” Sang Raja ingin tahu.
“ Ke arah timur ayahanda. Saya ingin melihat matahari terbit, setelah di barat saya sudah melihat matahari terbenam.” Jawabnya sambil berpamitan pada ayahandanya.
Pada suatu pagi yang cerah, rombongan putera Mahkota mulai melakukan petualangan. Rombongan itu kelihatannya lebih banyak dari sebelumnya. Pengawal dan dayang-dayang yang mengikutinya cukup banyak. Bekal yang mereka bawapun cukup banyak. Namun jalan yang akan mereka tempuh sepertinya sangat sulit. Banyak bukit-bukit terjal yang harus mereka lewati. Sungai-sungai yang besar harus mereka lewati. Belum lagi ancaman binatang buas di malam harinya.
Sebelum menuju ke arah timur, mereka terlebih dahulu melintas ke arah tenggara. Di sana banyak gunung-gunung yang tinggi menjulang yang harus didaki. Karena sang Putera Mahkota sangat penasaran ingin melihat matahari terbit. Setelah sekian lama mereka mendaki, tibalah mereka di sebuah puncak. Puncak gunung itu bernama puncak La Mbitu. Sebuah gugusan pegunungan yang tertinggi yang bearda di sebelah tenggara tanah Bima.
Di puncak gunung itu mereka bermalam sambil menunggu matahari terbit. Karena lapar dan haus, maka seluruh perbekalan mereka habiskan di tempat itu juga.
“ Ampun yang mulia, Seluruh perbekalan sudah tidak ada.” Salah seorang pengawal datang melapor.
“ Biarlah. Nanti kita akan dapatkan bahan makanan di tengah jalan.” Sang Putera Mahkota menjawab enteng. Seakan masalah makanan dan minuman tidak menjadi beban baginya. Lalu pengawal itu pun kembali ke tempatnya.
Ketika sinar keputih putihan bergulir di langit timur, Sang Putera Mahkota bersama seluruh pengawal dan dayang terbangun. Mereka mengamati gejala alam yang terjadi dari waktu ke waktu. Tak lama kemudian merahlah laut. Dan muncullah mata hari seperti sebuah bola besar yang menggelinding. Semakin lama semakin meninggi. Tak lama kemudian berubah cerah diiringi kicau burung yang semakin riang.
Setelah melihat matahari terbit, rombongan itu turun dari puncak La Mbitu. Mereka meluncur ke arah utara. Mereka terus berjalan menuruni bukit dan lembah yang terjal.Banyak sekali binatang buas yang lalu lalang di hadapan mereka. Namun binatang-binatang itu tidak mengganggu perjalanan mereka berkat kesaktian yang dimiliki oleh Sang Putera Mahkota.
Menjelang sore hari rombongan itu tiba di sebuah tempat yang agak landai. Tempat itu dikelilingi oleh pepohonan yang besar dan berbagai jenis buah-buahan. Suasana sejuk dan nyaman tampak terasa di tempat itu. Sang Putera Mahkota memerintahkan seluruh rombongan untuk beristirahat.
Namun sebuah persoalan menghadang. Mereka dilanda kelaparan dan kehausan yang hebat. Seluruh rombongan lemas tak bertenaga. Mereka tergeletak di akar-akar pepohonan yang lebat. Sang Putera Mahkota mulai kebingungan. Dengan sisa tenaga yang ada ia mulai bangkit. Lalu ia memetik buah-buahan dan pucuk dedaunan di sekitar tempat itu. Ia membagikan kepada seluruh rombongan. Mereka makan dengan lahap. Namun rasa haus yang belum dapat terobati.
“ Ampun baginda, setetes air akan sangat berharga bagi kerongkongan kami.’ Salah seorang pengawal berkata pasrah.
“ Tenang ! Tenang !. Setiap masalah pasti ada jalan keluarnya.” Demikian Sang Putera Mahkota meyakinkan.
“ Bagaimana caranya Baginda ?” Salah seorang pengawal ingin tahu.
“ Ambilkan Wobo itu( Wobo adalah sejenis tongkat atau cambuk yang digunakan untuk memukul Kuda atau binatang lainnya).” Sang Putera Mahkota menyuruh salah seorang pengawal untuk mengambilnya.
Tak lama kemudian Sang Putera Mahkota memukulkan Wobo itu ke arah bebatuan dan akar pepohonan di sekitar tempat itu. Lalu keluarlah air yang segar dan jernih.
“ Minumlah air ini sepuas hati kalian.” Sang Putera Mahkota memerintahkan.
Lalu seluruh rombongan meminum air itu termasuk Putera Mahkota. Sejak saat itu Putera Mahkota bersama rombongan tidak beranjak dari tempat itu. Seiring waktu berlalu mereka mendirikan perkampungan di sekitar tempat itu. Dan jadilah perkampungan yang besar yang bernama Wawo yang berarti di atas. Dan mata air yang keluar itu diberi nama dengan OI WOBO. Kini tempat itu menjadi tempat rekreasi yang sangat menarik. Dan banyak dikunjungi oleh wisatawan terutama yang menyenangi udara pegunungan.

T A M A T

PARISE BUNCU

O l e h : Alan Malingi

Pada zaman dahulu, hiduplah seorang Ncuhi yang sangat arif dan bijaksana. Ia sangat disegani dan dihormati oleh seluruh rakyat. Tutur kata dan perbuatannya selalu diikuti oleh seluruh rakyatnya. Mereka tinggal di hamparan lembah dan gugusan pegunungan di sebelah utara tanah Sape Bima. Tepatnya di desa Buncu kecamatan Sape sekarang.

Mereka hidup damai tak terusik dalam dekapan keindahan dan kesuburan tanah tumpah darahnya. Mata air yang mengalir bersih dan jernih. Sawah ladang yang beraneka hasil. Pepohonan yang rimbun menghijau. Rakyat yang ramah dan bersatu dalam jalinan persaudaraan dan keakraban. Bagai titian mutiara yang selalu memancarkan sinarnya. Segala sesuatu yang hendak dilakukan selalu dijalani dengan musyawarah mufakat. Rumah Ncuhi adalah tempat berkumpul dan bertanya tentang sawah ladang, masa tanam, masa panen serta segala kejadian yang sedang dan akan terjadi.

Namun Pada suatu ketika, seorang warga lari terbirit-birit menghadap Sang Ncuhi. Bersama nafasnya yang menggemuruh ia menceritakan tentang kejadian aneh yang baru saja dialaminya.

“ Saya melihat Raksasa Ncuhi. Sepertinya ia sedang melangkah kemari.”

“ Dimana kamu lihat dia ?” Ncuhi Buncu penasaran

“ Di gunung di sebelah barat kampung kita.”

Ncuhi Buncu terperanjat, dan segera ia berdiri dari duduknya. Sejenak ia terkenang tentang pesan mendiang Ayahnya. Bahwa suatu saat yang akan datang Raksasa yang akan menyerang kampung ini. Raksasa itu persis seperti yang telah diceritakan orang tadi. Ia akan datang menyerang pada sat panen dan malam bulan purnama. Raksasa itu tidak akan berhenti menyerang dan mengamuk jika tidak memenuhi persaratannya. Persaratan itu hanya satu yaitu persembahan seorang bayi yang lahir pada malam purnama.

“ Apa yang harus kita perbuat ?” Warga itu bertanya kebingungan.

“ Sebelum purnama tiba, saya akan mengumpulkan seluruh warga. “

“ Kenapa dia datang pada malam itu.?”

“ Dia meminta persembahan. “

“ Persembahan ? Apa yang mesti kita persembahkan ?”

“ Dia menginginkan seorang bayi yang pada malam Itu. “

“ Seorang bayi ?” Orang itu berkata lirik. Ia mulai gemetaran. Terkenang istrinya yang sedang hamil tua dan menunggu saat-saat melahirkan.

Berita tentang raksasa itu tersiar ke seluruh kampung. Dari puncak gunung sampai ke hulu sungai orang-orang bercerita dan berbicara tentang kekuatan raksasa itu.

Bulan purnama bersinar terang. Tetapi tidak seperti biasanya orang-orang leluasa keluar gubuk. Muda mudi yang berpantun dan bersyair diiringi senandung malam penyejuk kalbu tidak terdengar lagi. Bunyi lesung mulai bertalu-talu, demikian pula Pentungan. Semakin lama semakin riuh. Orang-orang lari berhamburan mencari tempat yang dianggap paling aman. Ada yang bersembunyi di gua, di lubang-lubang yang telah digali. Ada pula yang telah mengungsi ke tempat yang agak jauh dari kampungnya. Kampung itu seperti tak berpenghuni. Hening dan lengang. Tabah menanti sesuatu yang akan terjadi.

Suara yang meraung-raung dari gugusan pegunungan di sebelah barat mulai terdengar. Pijakan kakinya menggetarkan bumi di selubung malam itu. Sawah dan tegalan dengan padi yang sudah menguning luluh lantah. Gubuk dan Dangau menjadi peot. Pohon-pohon besar dicabutnya layaknya seperti rumput dan ilalang. Batu-batu besar diangkat dan dilemparkan ke arah gubuk maupun dangau yang belum sempat diraihnya. Raksasa itu mengamuk dan terus mengamuk.

Sementara itu, di depan gubuk yang sudah hancur Ncuhi Buncu berdiri tegap. Tangan kanannya memegang tombak. Sedangkan di tangan kirinya sebilah keris siap menghunus. Mulutnya komat kamit membaca segala mantera. Tiba-tiba Sang raksasa berhenti mengamuk. Tatapannya tertuju kepada sebuah gubuk yang belum terinjak. Di dalamnya terdengar tangisan seorang bayi. Pelan tapi pasti raksasa itu terus mengamati. Tangannya mulai meraih daun alang-alang yang menjadi atap gubuk itu. Hingga seluruh atapnya tercabut. Dan cahaya purnama menampilkan sosok seorang ibu yang sedang mengggendong bayinya. Dalam keadaan panik dan ketakutan sang ibu mencoba menghindar dan bersembunyi di sekitar gubuk itu.

Ncuhi Buncu mulai beraksi. Ditusuknya kaki raksasa itu dengan tombak. Keris pun demikian. Namun tusukan Ncuhi Buncu tidak dihiraukan oleh raksasa itu. Baginya tusukan itu seperti gigitan semut saja. Hingga pada puncaknya, tusukan Ncuhi Buncu sangat keras dan dalam. Mengakibatkan kaki raksasa itu berlumuran darah. Raksasa itu semakin mengamuk dan gila. Tangannya terus menjalar untuk memungut bayi yang berada dalam pangkuan ibunya. Melihat dan mengamati keadaan itu, Ncuhi Buncu secepat kilat meloncat dan berlari merebut bayi dan ibunya.

Sang Raksasa mencoba untuk mendapatkan bayi itu. Namun nyali Ncuhi Buncu sangat kuat. Ketangkasannya untuk menghindar seperti seekor ular yang meliuk-liuk di celah semak belukar. Kejar mengejar antara raksasa dengan Ncuhi Buncu terus berlangsung. Meski dengan kaki yang sudah berlumuran darah, raksasa itu terus memburu dan menghadang langkah Ncuhi Buncu. Berbagai macam cara pula dilakukan Ncuhi Buncu untuk menghindar dari serangan raksasa itu. Dan langkah terakhir dari segala upayanya adalah merayap dan bersembunyi di dalam parit yang telah ditutupi oleh ranting pohon yang sudah tumbang.

Dan tibalah saatnya bulan purnama tertutup awan. Suasana menjadi gelap. Meski tangisan bayi masih terdengar oleh sang raksasa. Namun sepertinya raksasa itu mulai putus asa dan kelelahan. Dengan napas yang menggemuruh panjang raksasa itu berhenti. Suasana kembali hening dan lengang. Tangisan bayi itu sudah tak terdengar lagi. Sebab Ncuhi buncu terus menutup mulut bayi itu. Dan Raksasa itu perlahan melangkah sempoyongan menuju ke arah barat. Di malam yang tinggal sepenggal itu, Sang raksasa telah hilang dari balik gunung.

Keesokan harinya seluruh warga kembali ke kampung halamannya. Kepiluan tampak dari raut wajah mereka. Sebab gubuk, sawah dan ladang, pepohonan yang rindang dan berbuah lebat telah rata dengan tanah. Rintihan dan tangisan keluar dari setiap bibir. Dan kini mereka harus membangun kembali semuanya seperti dulu. Ketika pertama kali mereka hadir di tempat itu untuk hidup bersama dalam bingkai persahabatan dan kekeluargaan yang telah lama terjalin.

Dalam suasana duka yang mendalam mereka membersihkan dan mengumpulkan kembali puing-puing gubuk yang mungkin saja masih dapat dipergunakan lagi. Dengan penuh ketabahan Ncuhi Buncu tak bosan-bosan menyerukan kepada suluruh warga untuk bersabar dalam menghadapi cobaan hidup dan kegetiran dari hari ke hari. Bahan makanan yang masih tersisa dinikmati bersama. Meski untuk beberapa waktu lamanya, mereka tetap harus menanggung secara bersama-sama. Dengan satu prinsip hidup “ ADA SAMA DIMAKAN, TIDAK ADA SAMA MENAHAN LAPAR.”

Pada suatu hari Ncuhi Buncu mengumpulkan seluruh rakyatnya.

“ Saya akan mencari kesaktian untuk mengalahkan raksasa itu. Sebab pada saat purnama depan ia akan datang lagi. Untuk itu saya berharap agar kalian tidak mengasingkan diri dari kampung ini. Jaga dan pertahankan kebersamaan yang telah terjalin. Menjelang purnama saya tetap akan kembali.”

Berhari-hari Ncuhi Buncu menelusuri lembah, mendaki gunung, dan menyeberangi sungai untuk mencari sesuatu yang diimpikannya. Hingga pada suatu malam, ia melihat seberkas cahaya dalam kegelapan malam itu. Semakin lama cahaya itu semakin dekat. Ncuhi Buncu gemetar dan ketakutan.

“ Kau siapa? Darimana asalmu?” Ncuhi Buncu bertanya sambil bergerak mundur.

“ Kau tidak perlu takut, aku datang untuk memberimu petunjuk untuk mengalahkan raksasa itu.”

“ Berikanlah petunjuk itu.” Ncuhi Buncu berharap.

“ Pada malam purnama nanti, ia akan datang. Dan tetap dengan tujuan yang sama. Dia akan membawa sebuah cambuk. Tetapi kau jangan khawatir, kau akan bisa melawannya.”

“ Senjata apa yang harus aku gunakan?”

“ Senjata yang harus kau gunakan adalah Teta berbentuk panah yang talinya menggunakan serat pohon waru. Ambillah dari tajuk yang masih muda. Senjata kedua yang harus kau gunakan adalah Tende (Tameng) yang terbuat dari kulit kerbau. Tende adalah senjatamu untuk menangkis serangan dari raksasa itu. Dan gunakanlah Teta untuk sesekali menyerang. “

Ncuhi Buncu pulang kembali ke kampungnya. Seluruh rakyat menyambutnya dengan suka cita. Ia mengajak warganya untuk mempersiapkan Teta dan Tende. Akhirnya seluruh rakyat sepakat untuk membantu Ncuhinya membuat Teta dan Tende. Serat pohon Waru dikumpulkan. Dan dipilihlah yang masih muda. Kerbau disembelih untuk mendapatkan kulitnya. Yang pertama dibuat adalah Tende (Tameng) dari kulit kerbau.

Bulan purnama telah meninggi dari langit timur. Suara yang meraung-raung beserta pijakan kaki yang sangat dahsyat mulai terlihat. Dan memang benar, Raksasa itu membawa Cambo (Cambuk).

Sementara itu, Ncuhi Buncu lari menghadang di ujung kampung. Hal itu dimaksudkan untuk menghentikan langkah sang raksasa dan mengalihkan perhatiannya agar tidak memasuki kampung. Raksasa itu mulai menyerang dengan cambuk. Ncuhi Buncu bertahan dan terus bertahan dengan Teta dan Tendenya.

Sang Raksasa terus menyerang dengan cambuknya. Tetapi tidak berani mendekat. Ternyata dibalik kekuatan dan kelebihannya, tersirat sebuah kekurangan. Raksasa itu tidak berani dengan kulit kerbau dan serat pohon Waru. Pelan tapi pasti Ncuhi Buncu mulai mendekat. Mencoba untuk terus bertahan sembari sesekali menyerang. Raksasa itu terus melangkah mundur dan mengelak dari serangan Ncuhi Buncu.

Hingga pada saat yang tepat, lama kelamaan senjata Ncuhi Buncu mengenai kaki raksasa itu. Ncuhi Buncu terus menyerang dan memukul mundur Raksasa itu. Semakin lama raksasa itu semakin lemah. Cambukkannya sudah tidak begitu keras lagi. Napasnya terus menggemuruh kelelahan. Dan sinar bulan mulai tertutup awan. Keadaan itu terus dimanfaatkan oleh Ncuhi Buncu untuk terus memukul dan menyerang. Hingga raksasa itu tumbang dan tak sadarkan diri lagi. Tetapi Ncuhi Buncu belum merasa puas dan berhenti sampai di situ saja. Sambil mengamati gerak gerik sang raksasa, ia terus memukul. Sampai Sang Raksasa benar-benar tewas.

Rakyat yang sejak tadi menyaksikan adegan perkelahian itu keluar dari tempat persembunyiannya menuju ke arena pertarungan. Akhirnya wilayah Buncu dan seluruh rakyatnya selamat dari ancaman Sang Raksasa.

Waktu terus berlalu. Musimpun berganti. Sang Ncuhi pun telah mangkat. Dan untuk mengabadikan kisah perkelahian antara raksasa dengan Ncuhi Buncu, seluruh rakyat kembali memperagakan adegan perkelahaian itu. Satu orang dilakonkan sebagai Ncuhi yang memegang Teta dan Tende. Dan yang seorang lagi memegang Cambuk sebagai raksasa.

Pada perkembangan selanjutnya peragaan itu menjadi permainan rakyat dan atraksi kesenian tradisional yang sangat menarik di dalam masyarakat Sape dan khususnya dikalangan masyarakat desa Buncu. Pada masa kesultanan sering dimainkan pada saat upacara PAJA KAI yaitu upacara panen Sawah sultan.

Diiringi Tambo (Tambur) yang dipukul oleh satu orang, mereka berlaga di tengah sawah yang baru saja dipanen. Atraksi kesenian ini disebut PARISE BUNCU ( Parise = Perisai BUNCU = Desa Buncu kecamatan Sape Bima).
T A M A T